Penderitaan termasuk realitas
dunia dan manusia. Intensitas penderitaan manusia bertingkat-tingkat, ada yang
berat dan ada juga yang ringan. Namun, peranan individu juga menentukan
berat-tidaknya Intensitas penderitaan. Suatu perristiwa yang dianggap
penderitaan oleh seseorang, belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain.
Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang,
atau sebagai langkah awal untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan.
Akibat penderitaan yang
bermacam-macam. Ada yang mendapat hikmah besar dari suatu penderitaan, ada pula
yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya. Oleh karena itu, penderitaan belum
tentu tidak bermanfaat. Penderitaan juga dapat ‘menular’ dari seseorang kepada
orang lain, apalagi kalau yang ditulari itu masih sanak saudara.
Mengenai penderitaan
yang dapat memberikan hikmah, contoh yang gamblang dapat dapat dicatat disini
adalah tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme. Misalnya Kierkegaard (1813-1855),
seorang filsuf Denmark, sebelum menjadi seorang filsuf besar, masa kecilnya
penuh penderitaan. Penderitaan yang menimpanya, selain melankoli karena ayahnya
yang pernah mengutuk Tuhan dan berbuat dosa melakukan hubungan badan sebelum
menikah dengan ibunya, juga kematian delapan orang anggota keluarganya,
termaksud ibunya, selama dua tahun berturut-turut. Peristiwa ini menimbulkan
penderitaan yang mendalam bagi Soren Kierkegaard, dan ia menafsirkan peristiwa
ini sebagai kutukan Tuhan akibat perbuatan ayahnya. Keadaan demikian, sebelum
Kierkegaard muncul sebagai filsuf, menyebabkan dia mencari jalan membebaskan
diri (kompensasi) dari cengkraman derita dengan jalan mabuk-mabukan. Karena
derita yang tak kunjung padam, Kierkegaard mencoba mencari “hubungan” dengan
Tuhannya, bersamaan dengan keterbukaan hati ayahnya dari melankoli. Akhirnya ia
menemukan dirinya sebagai seorang filsuf eksistensial yang besar.
Penderitaan Nietzsche
(1844-1900), seorang filsuf Prusia, dimulai sejak kecil, yaitu sering sakit,
lemah, serta kematian ayahnya ketika ia masih kecil. Keadaan ini menyebabkan ia
suka menyendiri, membaca dan merenung diantara kesunyian sehingga ia menjadi
filsuf besar.
Lain lagi dengan filsuf
Rusia yang bernama Berdijev (1874-1948). Sebelum dia menjadi filsuf, ibunya
sakit-sakitan. Ia menjadi filsuf juga akibat menyaksikan masyarakatnya yang
sangat menderita dan mengalami ketidakadilan.
Sama halnya dengan
filsuf Sartre (1905-1980) yang lahir di Paris, Perancis. Sejak kecil fisiknya
lemah, sensitif, sehingga dia menjadi cemoohan teman-teman sekolahnya.
Penderitaanlah yang menyebabkan ia belajar keras sehingga menjadi filsuf yang
besar.
Masih banyak contoh
lainnya yang menunjukkan bahwa penderitaan tidak selamanya berpengaruh negatif
dan merugikan, tetapi dapat merupakan energi pendorong untuk menciptakan
manusia-manusia besar.
Contoh lain ialah
penderitaan yang menimpa pemimpin besar umat Islam, yang terjadi pada diri Nabi
Muhammad. Ayahnya wafat sejak Muhammad dua bulan di dalam kandungan ibunya.
Kemudian, pada usia 6 tahun, ibunya wafat. Dari peristiwa ini dapat dibayangkan
penderitaan yang menimpa Muhammad, sekaligus menjadi saksi sejarah sebelum ia
menjadi pemimpin yang paling berhasil memimpin umatnya (versi Michael Hart
dalam Seratus Tokoh Besar Dunia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar